Ada tiga fenomena menarik yang terjadi pada perhelatan Piala ASEAN Football Federation (AFF) tahun 2010. Pertama, Naturalisasi pemain Tim Nasional Indonesia. Kedua, Penampilan mengagumkan Tim Nasional (Timnas) Indonesia di piala AFF tahun ini. Ketiga, ratusan tiket Very Very Important Person (VVIP) pertandingan semifinal antara Indonesia melawan Fillipina diborong oleh Presiden SBY. Fenomena tersebut memberi kesan pada sesuatu yang baru tetapi lama. Fenomena pertama, naturalisasi pemain Timnas Indonesia adalah wacana lama yang baru terealisasi. Kedua, Indonesia pernah mendapat sebutan sebagai macan Asia Tenggara pada era 1970-an, Ketiga, sejak menjabat sebagai Presiden, SBY cukup sering menonton pertandingan Timnas Indonesia bersama rombonganya, bahkan Timnas latihan pun sempat ditonton. Satu hal yang menarik dalam memotret ketiga fenomena baru tetapi lama tersebut adalah bagaimana peran negara ditengah dominasi represif global dan tuntutan kearifan lokal.
Dalam perspektif global, kehadiran nuansa lokal yang menuntut eksistensi diri adalah sebuah keniscayaan. Era globalisasi memang memberi nilai-nilai baru bagi seluruh elemen kehidupan. Bidang ilmu pengetahuan, seni dan olah raga kini mengikuti trend globalisasi. Deskripsi dunia yang tampak saat ini, menurut Futuris Global Thomas L. Friedman adalah ‘The World is Flat’, dunia menjadi datar. Akibatnya, dunia kian merata, relasi intrapersonal semakin dekat dan semuanya serba praktis.
Pada titik ini eksistensi negara dan makna nasionalisme dipertanyakan. Tak terkecuali bidang olah raga khususnya sepakbola. Sebagai jenis olah raga yang paling banyak diminati orang di seluruh dunia, sepakbola dapat menjadi pelekat sense of belonging sebuah bangsa. Rasa memiliki satu bangsa tak ayal muncul ketika
Timnas berlaga melawan musuh. Di Indonesia, sepakbola dalam konteks timnas terbukti mampu mempersatukan keragaman yang ada. Secara kolektif, para pemain Timnas Indonesia ternyata berfungsi sebagai instrumen pemersatu. Meskipun instrumen pemersatu tersebut ternyata dibangun secara manual melalui naturalisasi. Tidak jadi soal apakah naturalisasi mencedrai produk lokal. Faktanya semua orang menikmati kesadaran kolektif yang dibangun sambil menunggu hasil akhirnya. Bila Timnas Indonesia berhasil membawa pulang piala AFF 2010, kesadaran kolektif yang sudah terbangun akan menjadi nilai positif. Bila gagal, naturalisasi akan menjadi sebuah pengalaman.
Tafsir simbolik lapangan hijau
Timnas Indonesia telah melakukan naturalisasi pemain seperti Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim, sekalipun yang disebut terakhir masih dianggap bukan pemain naturalisasi karena masih keturunan orang Indonesia.
Ketua PSSI yang penuh kontroversi, Nurdin Halid mengatakan bahwa naturalisasi dilakukan semata-mata untuk meningkatkan prestasi Timnas Indonesia. Argumentasi semacam itu memberi kesan positif namun tampak pragmatis. PSSI secara tidak langsung lepas tangan dalam upaya pembinaan pemain lokal yang dianggap tidak efektif dan selalu gagal. Sesungguhnya, kebijakan naturalisasi mengalami perdebatan dibalik layar antara tekanan global dan tututan lokal. Praktik globalisasi memberi peluang instan yang mengubur sekat antar negara. Dengan demikian kata ‘Nasional’ dalam Tim Nasional, tidak relevan lagi bila diartikan sebagai Nation dalam arti sempit. Artinya siapapun bisa masuk Timnas Indonesia melalui proses naturalisasi. Di lain sisi, potensi lokal yang menuntut pembinaan, terbentur oleh gerak top-down globalisasi. Akhirnya pertarungan ini menunjukan hasil sementara keunggulan global atas lokal. Naturalisasi adalah hasil tekanan global dan dapat dikatakan sebagai simbol dari praktik globalisasi.
Kehadiran Presiden SBY di Stadion Gelora Bung Karno untuk menonton sepakbola yang kesekian kalinya, menuai banyak kritik sekaligus pujian. Presiden dianggap kurang empati karena menikmati permainan sepakbola disaat masalah suap Mahkamah Konstitusi (MK), korupsi milyaran oleh Gayus, dan rehabilitasi bencana belum usai. Namun demikian, sikap pro terhadap Presiden SBY juga datang dari banyak kalangan terutama pemain Timnas Indonesia sendiri yang tampak bergairah bila ditonton oleh presiden. Sesungguhnya, kehadiran sosok SBY di Stadion bukanlah kesan individual seorang presiden bersama rombongan namun lebih daripada itu, yaitu sebagai upaya menghadirkan negara ke dalam stadion. Ketika SBY hadir menonton Timnas Indonesia, tafsir simboliknya adalah negara dan seluruh elemen yang ada didalamnya hadir mendukung Timnas Indonesia berlaga. Timnas Indonesia pun pasti bergairah ketika seluruh elemen negara datang mendukungnya.
‘Niat baik’ SBY dalam memberi dukungan kepada pemain Timnas Indonesia di lapangan hijau menghasilkan tafsir baru bahwa negara mendukung praktik globalisasi paling tidak dalam sepak bola. Kehadiran ‘Negara’ di dalam stadion untuk menonton aksi ‘pemain naturalisasi’ tak pelak lagi merupakan simbol ketertundukan negara atas tekanan global. Pada dimensi lain, rakyat dibuat senang oleh prestasi gemilang Timnas Indonesia yang tampaknya akan populer dengan sebutan Tim Naturalisasi Indonesia. Menilik kembali argumen Nurdin Halid didepan, tujuan naturalisasi adalah prestasi. Tentunya prestasi inilah yang dimaksudkan untuk membuat rakyat senang. Bila rakyat senang, maka keuntungan simbolik akan dinikmati oleh negara. Keuntungan simbolik, menurut Sosiolog Pierre Bourdieu dapat menciptakan modal sosial dan kultural yang berupa trust. Trust masyarakat adalah sisi positif yang dibangun ditengah kontadiksi antara kepentingan global dan tuntutan lokal. Sementara tekanan global masih memimpin, SBY menikmati trust rakyat sambil menonton Irfan Bachdim.
Oleh : Rizal Escobar pada 04 Januari 2011 jam 3:49
Posting Komentar
Kebijakan berkomentar akan dihapus, jika tidak sesuai dengan aturan dibawah ini, Demi kenyamanan kita bersama :
» Menggunakan bahasa yang tidak sopan (Sara, Pornografi, Menyinggung)
» Duplikat komentar
» Komentar menautkan link secara langsung
» Komentar tidak berkaitan dengan artikel
» Judul Komentar Berupa Promosi
Terima Kasih .... Lora Malunk Blog